Oleh: Euis Ratna Sari
Merdeka merupakan mimpi kita semua sejak masa
kolonial itu semakin membabi buta. Merdeka dari penindasan kaum Penjajah dan
merdeka untuk menjadi negara yang bersatu. Cita – cita bangsa ini pun
dikukuhkan dalam pembukaan UUD 1945 “ …..
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial …..”. Cita – cita tulus ibu pertiwi ini ternyata belum
dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya hingga umur bangsa ini mencapai 66
tahun. Justru semakin banyak kemelut problematika dalam bangsa ini.
Para pejabat publik yang duduk – duduk manis di
kursi panas DPR ternyata tidak bisa menjadi penyambung lidah rakyat Indonesia.
Bagaimana tidak, jikalau memang mereka membela hak rakyat yang sudah
diamanahkan kepadanya pasti rakyat ini akan sejahtera dan makmur, tetapi
sayangnya sampai saat ini kemakmuran dan kesejahteraan bagaikan mimpi di langit
yang tidak dapat digapai, hanya angan – angan yang entah kapan dapat tercapai.
Ada yang salah dengan sistem pemerintahan ini?jelas
sekali ada yang salah. Pelayan rakyat yang ada di kursi panasnya justru
memikirkan keadaan dirinya tanpa memandang rakyat kecil sama sekali. Pemimpin
karbitan yang sengaja diusung oleh suatu pertain demi kekuasaan golongan
semata. Itulah realita yang dapat saya soroti dari pemimpin ibu pertiwi yang
semakin tua ini.
Terbersit dalam ingatan saya tentang cerita teman
saya mengenai pelayanan kesehatan di Indonesia. Teman saya yang dari daerah
Surabaya menceritakan bahwa di kampung halamannya di Surabaya banyak kematian
yang disebabkan tidak terjangkaunya pelayanan. Unreachable. Ternyata APBN
Indonesia 2011 untuk sektor kesehatan yang Rp 14.693,3 miliar (http://www.anggaran.depkeu.go.id/web-content-list.asp?ContentId=903) belum dapat
menjawab dan menyelesaikan masalah pelayanan yang semakin hari semakin rumit
saja. Keadaan ini sangat jauh dengan UU No.36 Th.2009 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak utk memperoleh
pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.
Sangat mengejutkan juga bahwa visi Indonesia sehat
2010 yang saat itu sangat digaungkan tampaknya masih jauh dari pencapaian.
Salah satu contohnya ketersediaan tenaga kesehatan rasio dokter per 100.000
penduduk adalah 40, dokter gigi 11 dan bidan 100. (http://zubersafawi.blogspot.com/2009/02/menanti-realisasi-anggaran-kesehatan.html). Miris melihat data ini, bayangkan saja jika pada
suatu daerah hanya ada 40 dokter sedangkan banyak warga yang harus di tangani, jelas
masih banyak penduduk yang sudah mendapatkan pelayanan kesehatan tetapi tidak
bisa ditangani dengan para tenaga medis yang ahli.
Selain pelayanan,
jaminan sosial yang di janjikan oleh pemerintah yang tertera pada UUD pasal 28H
ayat 3 “Setiap
orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara
utuh sebagai manusia yang bermartabat”. Jaminan sosial
nasional yang akhirnya di coba untuk direalisasikan pada dalam UU No.40 Th.
2004, tetapi sampai saat ini belum ada implementasi nyata dari pemerintah.
Sepertinya memang pemerintah belum siap untuk melaksanakan undang – undang ini,
pasalnya sampai saat peraturan turunan lainnya masih dalam tahap pembuatan
draft.
kesehatan yang merupakan investasi bagi negara ( UU
No.36 Th 2009 ) nyatanya benar – benar di pelihara seperti sebuah investasi. Semestinya
jika kesehatan dapat dimaintenance dengan
baik maka kita akan memiliki bangsa yang maju. Korelasinya adalah jika banyak
orang yang sehat berati akan banyak tenaga kerja yang dapat bekerja sehingga
kemiskinanpun akan semakin berkurang dan mereka yang berpenghasilan akan
menyekolahkan anak ataupun saudaranya.
Lain lagi dengan sektor pendidikan. Pendidikan yang
makin hari makin mahal membuat para kaum marjinal jelas putus sekolah.
Bagaimana tidak, sekolah dengan kualitas terbaik menganggarkan biaya perbulannya
hingga melebihi biaya perguruan tinggi padahal itu adalah sekolah negeri.
Akibatnya warga yang sekolah di sekolah negeri murah memiliki kualitas berpikir
yang berbeda. Realita yang ada memang seperti ini. jadilah semakin tinggi
tingkat kesenjangan sosial di ibu pertiwi ini.
Program pendidikan 9 tahun yang dicanangkan
pemerintah dengan cara pendidikan gratis, nyatanya masih ada pungutan di sana –
sini. Sebagai contoh, sekolah dasar tempat saya bersekolah dahulu sudah
mendapatkan biaya BOS, tetapi nyatanya masih ada pungutan sebesar Rp 10.000
untuk pendidikan komputer saat itu. Mungkin peristiwa ini dikarenakan APBN 2011
hanya sebesar Rp 95.599,6 miliar (http://www.anggaran.depkeu.go.id/web-content-list.asp?ContentId=903 ) dan
masih belum cukup juga, entahlah tetapi menurut saya kejadian ini dikarenakan
adanya oknum yang memanfaatkan lahan ini untuk memperkaya dirinya dengan
korupsi.
Sekolah dengan bertaraf internasional jauh melambung
tinggi biaya pendidikannya. Bayangkan saja, untuk uang masuk pertama saja
peserta didik bisa diminta sekitar Rp 20.000.000,00 per individu padahal
sekolah negeri. Dijelaskan pula pada PP No.66 Th 2010 “Pendidikan
bertaraf internasional adalah pendidikan yang diselenggarakan setelah memenuhi
Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan standar pendidikan negara maju”. Jika seperti ini,
apakah sekolah bertaraf internasional ini hanya untuk golongan menengah keatas?
Kalau begitu, bagaimana dengan kaum marjinal yang ingin merubah nasibnya dan
mengasah potensinya? Sangat ironi melihat kenyataan yang ada di negeri kita.
Biaya pendidikan yang pada UUD 1945 pasal 31 yang menyatakan bahwa pemerintah
wajib membiayai biaya pendidikan warga negaranya tidak dilaksanakan dengan
semestinya. Semakin terbentuklah kesenjangan sosial di bangsa ini.
Yang lebih ironi lagi adalah, ternyata banyak
peserta dari kelurga menengah keatas yang menyekolahkan anaknya dengan
“menyogok” ke sekolah yang ingin dituju dan bahkan ke Dinas Pendidikan. Keadaan
ini benar – benar saya dapatkan pada teman saya. Kalau begini caranya, semakin
buruk saja mutu dari pendidikan di Indonesia. Bukan saja dari sistem
pendidikannya, tetapi juga dari kualitas guru, serta sarana dan prasarana
sekolah.
Realitanya adalah banyak guru – guru baru yang
menjadi guru karena tidak diterima dijurusan yang dimimpikannya berbeda dengan
guru – guru lama yang memang mendedikasikan dirinya pada bangsa untuk
menjadikan bangsa ini maju dan sejahtera.
Sebagai mahasiswa, kita harus dapat menjalankan
peran kita dengan sebenar – benarnya. Menjadi agen perubahan, direct of change, pengendal moral dan
juga iron stock. Agen perubahan dimana
mahasiswa bisa menjadi seperti tahun 1966 dahulu, reformasi 1998, atau pada
pengesahan BPJS 2011, agen perubahan Indonesia. Sebagai mahasiswa kita harus
peka terhadap bangsa ini karna kita adalah generasi – generasi penerus yang
membaharui Indonesia menjadi lebih baik. Direct
of change dimana mahasiswa melakukan perubahan secara langsung tanpa
menunggu wisuda. Perubahan dengan menggunakan intelektualitas.
Pengendali moral atau moral force, ini merupakan
peran mahasiswa yang sangat penting dimana kita harus bisa menjadi agen – agen
yang terus mengawal kebijakan dan jalannya sistem pemerintahan di negara ini.
seperti perkataanya Soe Hok Gie “ Kita
punya pemimpin,kita punya bapak yg kita akui sebagai funding father di negeri
ini tetapi buat gw bukan berarti dia punya kekuasaan absolute untuk menentukan
hidup kita, nasib kita apalagi kalau kita sadar ada penyelewengan,
ketidakadilan. Kalau kita hanya menunggu, menerima nasib, kita tidak akan
pernah tahu kesempatan apa yg sebenarnya kita miliki dalam kehidupan ini,
sederhananya gw cuma ingin perubahan supaya hidup kita lebih baik”.
terakhir, peran mahasiswa sebagai iron
stock, dimana mahasiswa adalah sumber daya manusia investadi negara yang
akan menjadikan negeri ini semakin maju dan lebih baik.
Intinya, saya sebagai mahasiswa tentunya tidak
sendiri, bersama teman – teman, membuat perubahan pada kebijakan dan sikap
pemerintah yang tidak pro rakyat serta tidak sesuai dengan konstituen serta
mengawal pelaksanaan pemerintahan secara intens.